Empat Langkah Meniti Tangguhnya Sindoro

, 0 Comments

Setiap orang punya keinginan, dan keinginan terbaik adalah yang dapat diwujudkan.
Salam lestari, salam satu bumi, Indonesia tanah airku…

Bagaimana kabar kalian sobat, kali ini Lamperan The Explorer akan berbagi kisah tentang perjalanan menuju Mt Sindoro di Jawa Tengah. Sudah siapin kacang goreng belum? kopi dan susunya jangan lupa, biar membacanya lebih terasa nikmat selezat kopi susunya dan segurih kacang gorengnya…., kalau ga ada ya udah bayangin aja juga boleh…, kalo mau beli ke warung tetangga keburu pulsa abis dan koneksi internet terputus, alamaaaakkk……

Menuju titik pertama
Eksplorasi ke gunung Sindoro kali ini sudah direncanakan jauh-jauh hari, mulai dari searching informasi jalur, persiapan fisik dan juga logistik tentunya. Pada Meeting Point beberapa hari sebelumnya beberapa sahabat Lamperan The Explorer tadinya menyatakan kesiapannnya untuk ikut menanjak, total ada sepuluh sahabat yang menyatakan siap, tapi pada akhirnya hanya kami berempat yang berangkat, satu hari sebelum pemberangkatan ternyata pada mengundurkan diri dengan berbagai alasan. Oke tidak masalah, tak sedikit pun menyurutkan langkah, justru mungkin ini akan lebih mengasyikkan sehingga perjalanan menjadi lebih khusyu’. Nafas terengah-engah dengan kaki kaku, badan pegal, urat nadi linu-linu dan kesunyian yang syahdu tentunya akan megasyikkan kami lalui dengan berdelapan mata saja.

Trek pertama, ladang tembakau

Gunung Sindoro merupakan salah satu gunung berapi dengan ketinggian 3.150 MDPL, tercatat beberapa kali mengalami erupsi dan erupsi terakhir terjadi pada tahun 2010. Gunung Sindoro terletak berbatasan dengan kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. Dari kedua kabupaten ini sudah ada jalur yang bisa ditempuh untuk menuju puncaknya. Pada perjalan kali ini tim sahabat Lamperan The Explorer memilih jalur Temanggung tepatnya jalur Bansari. Bagi pendaki dari arah timur seperti Semarang dan Yogyakarta, jalur ini dapat ditempuh dari jalan Temanggung-Wonosobo. Dari Kota Temanggung lurus saja mengikuti rute menuju Wonosobo, setelah sampai pasar Parakan ambil kanan dan ikuti jalur menuju Bansari.

Rute ini kami pilih dengan berbagai alasan; pertama jarak basecamp lebih dekat dari Yogyakarta, kedua salah satu dari kami berempat adalah warga asli Kecamatan Bansari ini, dan ketiga karena memang kami ingin melalui jalur ini tentunya, bukan jalur lain. Berhubung agenda pendakian waktu itu tepat di hari libur dan pada pulang kampung, maka pemberangkatan pun dimulai dari titik yang berbeda. Oyil Khoiril Mawahib El Kendaly dan Simbah Empu Iip Syaifullah berangkat dari Yogyakarta, Ki Juru Pandu Sholeh Fasthea berangkat dari Magelang dan Erwin Hardiyanto Putro Sindoro berangkat dari kamarnya saja alias menunggu di rumahnya. Rumah Erwin Hardiyanto inilah yang menjadi titik temu kami berempat, karena rumahnya sudah tidak jauh dari base camp yang akan kami tuju nantinya.
Pada mulanya kami bertiga (Fasthea, Oyil dan Iip) janjian ketemu di Masjid dekat Alun-alun Temanggung, namun karena timing yang tidak pas dan starting point yang berbeda akhirnya batal. Akhirnya langsung menuju rumah Erwin saja. Sekitar pukul 13.00 Wib Oyil dan Iip sudah tiba di rumah Erwin, setengah jam berikutnya baru Fasthea menyusul. Beraneka ragam toples sudah terhidang di meja, tentu sama isinya. Teh manis pun tertuang di gelas, meja makan juga sudah disapkan, ditambah keramahan Erwin dan keluarga menjadikan siang itu lebih bersemangat menuju Sindoro. Obrolan Ngalor-Ngidul di gelar terlebih dahulu sambil menikmati hidangan yang ada.

Sore semakin terasa, muka segera dibasuh dengan air wudhu untuk mendirikan empat rokaat sebelum senja. Packing dimulai, logistik dan peralatan lainnya ditata kembali di dalam ransel, tak ketinggalan ayam yang sudah dimasak dan disiapkan Erwin juga dimasukkan. Ini tradisi, menikmati ayam bakar atau ayam goreng di puncak gunung sungguh nikmat rasanya. Daripada harus mencari Warteg atau Warung Padang di puncak, lebih baik persiapkan dari bawah untuk dapat menikmati makan mewah.

Senja itu kami melangkah

Matahari sudah mulai mendekati puncak Sindoro yang nampak begitu perkasa dari depan rumah, perjalanan dimulai menuju base camp. Dari Rumah Erwin ini base camp dapat ditempuh kurang lebih 10 menit saja dengan motor, dengan rute jalan aspal menanjak khas perkampungan di lereng gunung. Base camp yang kami maksud bukanlah sebuah base camp pada umumnya, lebih tepatnya adalah salah satu rumah penduduk yang kebetulan masih saudara dengan Erwin. Berdasarkan informasi yang ada waktu itu, dikampung terakhir sebelum jalur pendakian ini belum ada base camp. Jadi bagi para pendaki bisa menitipkan kendaraannya di kepala dukuh setempat untuk sekaligus mendaftar dan minta ijin pendakian.

Sesampainya di rumah yang dimaksud, kami langsung memakirkan dua kuda besi kami. Sang empunya rumah menyambut dengan ramahnya, obrolan pun akhirnya tercipta, sekedar bagi-bagi pengalaman dan sekaligus ramah tamah dengan empunya rumah. Kabar menariknya sang empunya rumah dan beberapa tetangganya tertarik ingin naik juga, namun sayang mereka akan berangkat nanti malam jam dua belas. Tentunya kami tidak bisa bareng dengan mereka, mengingat mereka penduduk asli setempat yang sudah terbiasa berjalan pada medan menanjak ketika bertani di ladang, pastilah cara berjalan mereka akan lebih cepat dan lebih kuat dibanding kami yang biasanya hanya jari-jari kami yang berjalan dan berlari-lari di atas keyboard laptop.

Matahari sudah bersembunyi di balik gagahnya Sindoro, meninggalkan semburat kegemerlapan cahayanya, waktu menunjukkan pukul 17.30 Wib, segera kami putuskan untuk memulai perjalaann yang sesungguhnya, Sindoro kami segera menjumpaimu. Delapan kaki melangkah disambut hijau dan harumnya tembakau di ladang-ladang penduduk. Petani-petani di lereng gunung Sindoro memang dikenal dengan hasil pertaniannya terutama pada sektor Tembakau. Sehingga rute pertama adalah berupa ladang penduduk yang ditanami tembakau yang tumbuh begitu suburnya. Dalam setiap helai daun tembakau itu tersimpan harapan dan pundi-pundi rizki untuk para petani dan keluarganya, untuk sandang dan pangan anggota keluargnya, untuk berobat ketika sakit, untuk menyekolahkan anaknya, dan untuk membuat kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya.

Disamping itu tembakau menyimpan harapan pula bagi mereka yang menggantungkan nasib keluarga dengan bekerja di pabrik rokok, bagi mereka yang bekerja sebagai supir angkutan, bagi mereka yang berjualan perabot rumah tangga, bagi mereka yang berjualan dipasar dan di mal-mal yang barang dagangannya akan diborong oleh para petani itu, bagi mereka pengusaha dealer kendaraan yang laris manis ketika musim panen tembakau tiba, bagi mereka yang jalan kaki di jalan-jalan protokol dengan aspal yang mulus, aspal itu dibiyai juga oleh pajak cukai tembakau yang begitu tinggi, tembakau harapan pula bagi setiap warga negara ini yang masih hidup di negara ini dengan menikmati fasilitas umum yang ada, karena sekali lagi itu juga dibiayai dari pajak cukai tembakau yang begitu tinggi.
Dan sekali lagi tembakau adalah harapan bagi jutaan manusia Indonesia yang menginginkan putra-putrinya dapat mengenyam pendidikan tinggi dan menjadi manusia cerdas dan sukses untuk membangun bangsa ini, dan sudah terbukti pula banyak lahir dari petani-petani tembakau ini sosok-sosok hebat yang mampu membangun peradaban bangsanya dalam skala yang mereka mampu.
Jadi pertanyaannya “kenapa merokok harus dilarang?”

Kematian itu urusan Tuhan, janganlah mendahului Tuhan kecuali engkau telah mengatakan bahwa engkaulah Tuhan. Manusia tidak sekali-kali menentukan nasib, ia hanya mampu mengusahakan nasibnya.
Jadi pertanyaan kedua adalah ”apakah engkau Tuhan?”.

Selain rokok masih lebih banyak lagi penyebab kematian yang penyebab itu hanya menguntungkan sebagian konglomerasi tingkat tinggi, bukan wong cilik seperti petani tembakau. Tahukah engkau isu rokok dan kematian itu adalah produk hegemoni korporasi internasional dan kongkalikong dengan pemerintah agar negara ini mengimpor tembakau dari mereka, yang konon katanya kadar nekotinnya lebih rendah, dan akhirnya bangsa ini lambat laun mati karena penjajahan ekonomi yang justru diamini dan di restui oleh bangsanya sendiri.
Jadi pertanyaan ketiga adalah “apakah engkau akan menjadi penjajah yang membunuh dan menindas bangsamu sendiri?”

Sudah-sudah jangan terlalu mengerutkan dahi, buka mulut lebar-lebar, Keep Smile……., begitulah hidup, kontroversi harus ada agar hidup semakin berwarna bukan?...
Kembali ke laptop, eits...ke jalur maksudnya

Medan sepanjang ladang-ladang penduduk ini sudah berupa jalan batu yang ditata rapi, terlihat masih ada beberapa petani memarkirkan kendaraan di tepi jalan, meskipun hanya beberapa saja karena sudah sore pastilah mereka sudah pulang ke rumah masing-masing. Medan tidak terlalu terjal, dan jalan yang cukup lebar bahkan mobil-mobil pengangkut daun tembakau pun mampu melewatinya membuat suasana lebih fresh, namun tetap saja menguras tenaga. Sejauh mata memandang nampak tembakau-tembakau yang subur dan sebentar lagi mungkin siap panen yang puncaknya pada bulan Agustus. Rute ladang penduduk ini dapat ditempuh kurang lebih satu sampai satu setengah jam perjalanan.

Meninggalkan ladang penduduk, kami memasuki vegetasi hutan gunung yang berupa tetumbuhan dan pohon-pohon hijau khas pegunungan. Lima belas menit dari ladang penduduk ini kami sudah mendapati Pos I. Rehatkan badan sejenak untuk istirahat atau menunaikan shalat.

Pos I

Setelah pos I rute perjalanan masih lumayan landai karena rute yang dilewati adalah membelah bukit sehingga kita melewati sungai kecil sebagai batas bukit satu dan lainnya. Setelah sungai inilah, beberapa menit kemudian ketangguhan Sindoro mulai menampakkan jati dirinya. Disini sudah terasa bahwa pendapat beberapa sobat pendaki memang benar, bahwa medan Sindoro itu terjal dan menantang. Ini benar Sob, bolehlah benar mitologi warga sekitar bahwa gunung Sindoro itu adik dari Gunung Sumbing, dari medannya itu bisa dibuktikan kebenarannya. Terjal dan keringat bercucuran.
Mendaki dengan sedikit personil memang lebih mudah mengatur ritme perjalanan, kalau mau cepat bisa mau lambat juga bisa. Kami mengambil frase kedua, yaitu jalan sesantai-santainya yang penting selamat dan sampai puncak. Ditambah keganasan medan Sindoro ini maka ide itu bersekawan dengan keadaannya.

Sindoro kini sudah disinari temaram rembulan, sorotnya yang menyelinap di balik pohon-pohon membuat suasana sepi nan khusyu’, di gunung ini rasanya hanya ada kami berempat, tak sekalipun kami menjumpai pendaki lain ataupun mereka yang menyalip. Sepi, sunyi, hening membuat nafas kami lebih bising daripada langkah kaki. Riuh ranting dan dedaunan ditiup angin malam membuat simfoni alam yang tak ada duanya, Sindoro yang gagah perkasa malam itu bersenandung dengan lagu romantis menyemangati kami berempat, Thanks God….Unforgettable memories….

Rembulan nampak tak beranjak dari tempatnya, terus berbaik hati menyinari langkah demi langkah. Namun dua jarum waktu terus berdetak dan menunjukkan diri mereka pada pukul 22.00 Wib. Entah berapa anak tangga terjal yang telah kami tapaki, pos II baru kami raih. Nafas sudah mulai kembang kempis, perut mengalunkan melodi minta jatah malamnya, kaki dan pundak sudah mulai terasa pegal, saatnya istirahat lagi.

Api Unggun di Pos II

Tas karir diturunkan, tanpa komando semua mengeluarkan perbekalan dan peralatan masing-masing. Kompor siap digelar untuk menjerang sebungkus mie instan dan segelas air untuk kopi susu yang lezat. Ranting-ranting patah berserakan di sana-sini, tentu tak susah payah untuk membuat api unggun di Pos II ini, Tuhan begitu menyayangi para pendaki. Hangatnya api unggun memberi makna kebersamaan, menghapus lelah, dan membuat malam semakin seru dengan obrolan kecil bertema indahnya kesunyian malam di belantara gunung Sindoro. Makan malam yang istimewa dengan menu ala kadarnya.

Langkah terus berpeluh dalam malam

Perut sudah hangat, begitupun badan sudah beraroma asap, saatnya api unggun dipadamkan dan perjalanan dilanjutkan. Hampir dua jam kami bermanja-manja dengan sepinya malam Gunung Sindoro di Pos II ini. Rute berikutnya masih sama yaitu tanjakan-tanjakan yang cukup memeras keringat, tapi bagaimanapun tetap harus bersemangat. Rute dari Pos II menuju Pos III ini didominasi kayu-kayu besar, beberapa rumput liar juga tumbuh begitu suburnya memenuhi jalan setapak yang akan kita lalui, harus benar-benar waspada agar tidak salah memilih jalan. Sorot rembulan yang menjejali lubang-lubang antar pohon benar-benar seperti di negeri dongeng, bahkan sering kali senter dimatikan dan luar biasa kita masih bisa melihat jalan, Tuhan memang menganugerahkan nikmat dalam rembulan-Nya itu.


Rute Mengasyikkan

Pos III waktu itu hanya berupa penanda saja tanpa ada pendoponya, jika kita mau beristirahat lama disana tentunya harus mendirikan tenda. Rute selanjutnya dari Pos III ini masih didominasi kayu-kayu tinggi dan rimbun, beberapa yang agak jarang pohonnya maka akan ditumbuhi rumput liar (kebanyakan seperti alang-alang) yang tinggi. Di rute ini esok hari akan ada cerita seru, menggelikan dan juga sedikit horor di perjalanan turun. Sabar, baca terus saja kisahnya.

Pos III

Malam terus beranjak sepi, setelah sekitar satu jam melewati Pos III maka pepohonan tinggi sudah semakin jarang dan kita akan masuk wilayah vegetasi yang didominasi oleh rerumputan atau sabana. Badan kami sudah mulai tertarik gravitasi bumi, ingin segera bermanja-manja di dalam tenda yang hangat. Waktu sudah menunjukkan jam setengah tiga dini hari, dan kami putuskan untuk mendirikan tenda. Setelah beberapa saat mencari lokasi yang memungkinkan untuk mendirikan tenda maka tenda pun segera dipancang ke kayu, maklum tenda yang kami bawa waktu itu tenda segitiga. Musim kemarau ditambah lagi mendekati bulan purnama, membuat hawa dingin di atas gunung lebih menggila. Rasanya angin menusuk-nusuk kedalam tulang belulang mencari rongga untuk bersembuyi, Sindoro waktu itu menyajikan dingin yang sangat.

Baru saja badan mulai hangat, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara riuh mendekai tenda, sorot senter memecah kegelapan itu pertanda ada pendaki lain menyusul. Benar, ternyata mereka adalah sekelompok pemuda Askani (asli kampung sini), yaitu penduduk setempat yang bilang ingin mendaki juga. Kami persilakan mereka untuk istirahat di tenda atau sekedar menyedu kopi, namun mereka hanya istirahat sejenak saja dan justru ingin meneruskan perjalanan. Cukup menyengangkan ketika kami tanya jam berapa mereka berangkat, dari jawaban mereka hampir membuat kami tidak percaya. Mereka berangkat sekitar pukul setengah satu, dan sekitar jam setengah empat mereka sudah sampai di tenda kami. Artinya mereka hanya membutuhkan waktu sekitar tiga jam perjalanan, sedang kami hampir sembilan jam, maklum lebih banyak jam yang kami habiskan dengan duduk dan ngemil perbekalan.

Meski pagi sebentar lagi, kedua kelopak mata tak sabar ingin segera memadu kasih. Akhirnya kamipun tidur walau hanya sebentar. Alarm HP berbunyi tepat pukul lima, kami segera bangun tak mau ketinggalan momen sunrise yang sudah mulai melinangkan cahaya di ufuk timur sana. Semburat cahaya emas yang bermotif barisan gunung mulai dari yang paling dekat yaitu Gunung Sumbing, disusul Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, dan Lawu memberi pesona keajaiban Tuhan yang sangat megah, berkelas dan maha dahsyat. Sunrise pagi itu benar-benar menjadi dahaga jiwa. Mendaki di musim kemarau memang harus berani melawan dinginnya angin gunung, tetapi akan terbayar dengan dahsyatnya Sunrise.

Beberapa pose kami ambil untuk mengabadikan sunrise. Perutpun mulai berontak, pertanda pesta sarapan pagi dengan menu ayam bakar harus segera dimulai. Ayam yang tadinya dipersiapkan untuk sepuluh orang akhirnya hanya kami makan berempat, itupun sudah dikurangi sewaktu berangkat karena takut tidak habis. Sarapan pagi itu benar-benar hanya makan ayam bakar, itu sudah.






Suatu pagi di Sunrise Sindoro

Mandi matahari dalam puncak bayangan

Matahari terus beranjak menaiki tangga langit, kalau dulu ustadz pernah bilang matahari itu bisa berjalan dari timur ke barat karena ada malaikat yang menariknya, ah kuat sekali malaikat itu. Tenda dan seluruh perlengkapan kami packing untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak gemilang cahaya. Sekitar jam tujuh perjalanan kembali dilanjutkan. Medan sudah berupa semak-semak atau padang sabana luas dengan bukit-bukitnya yang sungguh menakjubkan. Angin pagi berhembus membelai wajah dan tubuh, bergelut dengan rasa kantuk dan lelah yang mendera. Langit sangat cerah, sejauh mata memandang yang ada hanya keajaiban ciptan-Nya.
  Menapaki jalur

Sengatan matahari juga turut mengguyur badan, bersama angin dan riuh dedaunan membuat gunung Sindoro mengalunkan melodi kerinduan. Tak seberapa lama kami mendapati Pos IV, nampak beberapa sisa arang api unggun yang mungkin ditinggalkan oleh pendaki beberapa hari sebelumnya. Setelah Pos IV ini perjalanan rasanya cukup membosankan. Beberapa kali kami tertipu oleh puncak bayangan. Ketika kepala mendongak dan melihat ujung dari gunung Sindoro ini, maka kami menganggap bahwa itu adalah puncaknya. Namun beberapa kali kami terus mendapati pemandangan yang serupa, bahwa itu bukan puncak, karena setelah puncak itu masih ada puncak selanjutnya. Oh manusia yang kecil dan lemah.

Dengusan nafas semakin menjadi, jantung terpompa, gravitasi bumi begitu hebatnya, berkali-kali badan kami rebahkan di bumi yang indah itu. Namun tekad tetap bulat, kita harus sampai puncak. Kami memutuskan untuk berjalan sekuatnya, yang masih tahan terus berjalan, kalau yang capek ya istirahat. Ini bukan persoalan siapa yang kuat dan yang lemah, tapi lebih pada bagaimana kita merealisasikan tekad. Setelah sedikit berembug akhirnya Ki Juru Pandu Sholeh Fasthea berada di paling depan untuk segera mencapai puncak, untuk memberitahu kelompok pendaki dari kampung yang sebelumnya mereka bilang akan menunggu di puncak. Tentu tidak enak terlalu lama mereka menunggu kita disana, dan takut mereka khawatir.

Puncak akhirnya kami singgahi

Setelah bertempur dengan terjalnya medan, akhirnya sekitar jam 10.00 Ki Juru Pandu Sholeh Fasthea mencapai puncak dan bertemu dengan para pendaki askani tadi (Asli kampung sini). Ternyata mereka nyampai puncak jam 07.00. Wow. Its wow. Selain itu juga ada beberap pendaki lain tetapi mereka melalui jalur Kledung Wonosobo. Waktu di puncak tidak begitu ramai hanya sekitar 20 pendaki yang terlihat.

Puncak Sindoro ini berupa padang sabana yang sangat luas, sehingga sangat cocok untuk mendirikan tenda dan menikmati pemandangan yang luar biasa. Gunung-gemunung di sekitarnya saling tersenyum dan memberikan ucapan selamat datang di puncak Sindoro. Selain gunung yang sudah nampak sebelumnya, dari puncak Sindoro ini nampak juga gunung Slamet yang akan menjadi agenda pendakian di lain waktu. Cekungan kawah juga terlihat lumayan luas, dengan asapnya yang membumbung. Kalau mau mendirikan tenda lebih baik jika menjauhi kawah ini, untuk sekedar hati-hati saja terhadap gas beracun yang mungkin keluar. Pergantian tahun 2012 ke 2013 gas beracun kawah ini menelan korban dua orang pendaki yang nekat berdekatan dengannya. Dan satu lagi yang ajib, sinyal hp di puncak Sindoro ini cukup kuat bahkan buat nelpon pun sangat jernih suaranya.



Puncak Sindoro

Hampir satu setengah jam kita tunggu tapi Iip, oyil dan Erwin belum juga menapakkan kakinya di puncak. Akhirnya Ki Juru Pandu dan teman-teman pendaki askani memutuskan untuk turun karena takut mereka bertiga tidak mampu sampai puncak. Namun belum juga lima belas menit perjalanan turun kami bertemu dengan mereka bertiga. Senyum mengembang dalam tarikan magnet lelah dan harapan, mereka bertiga tetap bertekad sampai puncak. Kami motivasi mereka bahwa puncak tinggal beberapa langkah lagi, bahwa puncak yang terlihat itu adalah puncak yang sebenarnya, bukan puncak fatamorgana yang sedari tadi kita jumpai. Ki Juru Pandu Sholeh Fasthea menunggu sendiri di titik pertemuan itu, sementara teman-teman pendaki askani dipersilakan turun duluan.

Kurang lebih satu setengah jam Oyil, Iip dan Erwin sampai kembali dan membangunkan tidur Ki Juru Pandu yang sedang terlelap dengan beralaskan bumi, beratap langit dan berselimut angin dan juga sengatan matahari.

Akhirnya kami berempat mampu menikmati indahnya puncak Sindoro. Andai saja ada warteg, burjo atau warung padang, mungkin kami akan bermalam sehari lagi di puncak. Perjalanan turun pun berlanjut. Nampak bunga Edelweis bermekaran di sana-sini. Indah sekali. Muncak di musim kemarau selalu mendapat kenikmatan yang satu ini, puncaknya edelwis mekar. Edelwis begitu mempesona, semerbak harumnya dan kecantikannya menghipnotis jiwa untuk membuang lelah dan kejenuhan. Pegang tangkainya untuk sekedar menghirup dalam-dalam aromanya adalah cara kita menikmatinya, pastilah aroma ini akan membuatmu rindu untuk selalu berjuang menjumpainya, dan biarkan saja bunga keajaiban itu tetap bercinta dalam bumi dan langitnya.

Perjalanan turun ini kita punya misi yaitu menemukan tas Erwin yang tadi katanya ditinggalkan di suatu tempat setelah Pos IV. Berbeda dengan tas Iip dan Oyil yang dititipkan setelah bertemu dengan Fasthea. Sungguh malang, sudah mencapai Pos IV ternyata tas erwin tidak kami temukan, sempat kami memutar ditempat yang menurut erwin disitulah dia meninggalkannya pun tidak kami temukan, kemungkinan besar Erwin lupa menaruhnya. Tas itu berisi perlengkapan pribadi Erwin dan juga perlengkan lain seperti teko, kompor, piring, pisau dan lainnya. Erwin pun mengikhlaskannnya, anggaplah itu sebagai sedekah (pendaki) gunung.

Sedikit bumbu pengalaman mistis

Dalam kondisi badan yang sudah lunglai, perjalanan turun menjadi lebih berat. Badan mengikuti saja kemana kaki melangkah dan sampailah kita memasuki kembali vegetasi hutan dengan kayunya yang rimbun. Pada suatu pertigaan kami sempat agak bingung memilih jalan yang mana. Jalur lurus jalan tidak begitu kelihatan karena ditutupi oleh rumput yang tingginya hampir sebadan, sedangkan belok kanan jalan lumayan jelas. Setelah berembug akhirnya kami memilih ke kanan. Pada awalnya kami yakin ini jalan yang benar setidaknya terlihat dari adanya beberapa sampah makanan instan yang menunggu nasibnya terurai oleh alam. Perjalanan sekitar lima belas menit tibalah di kawanan pohon-pohon yang begitu tinggi dan berlumut tebal. Bahkan beberapa akar pohon itu menjulang di atas tanah dan kita harus menelusup dibawahnya. Pohon-pohon itu nampak angker dan tangguh menghadang perjalanan kami. Kami juga menjumpai seperti rumpun pepohonan yang mirip pohon bambu dengan ukuran sedang, meskipun kami yakin bahwa itu bukan pohon bambu, mana mungkin di gunung ada pohon bambu. Mulai di titik itu keraguan muncul. Sepertinya kami tidak melewatin jalan ini tadi malam. Aneh dan aroma gaib mulai terasa.

Keyakinan dan keraguan sudah berbaur, namun kami masih terus berjalan sampai akhirnya bertemu dengan sekawanan burung putih kecoklatan bertengger di ranting pohon. Besarnya seukuran burung merpati, namun kami tak tahu persisnya burung apa. Hutan yang lebat membuat matahari sore tak mampu menjangkaunya, hutan itu temaram. Sampai akhirnya Sahabat Oyil berteriak “apa itu mas”, Oyil melihat sekelebatan hitam di salah satu dahan pohon sebagaimana juga yang dilihat oleh Fasthea. “Sudah diam saja”, Iip menimpalinya. Dari kami berempat, Iip adalah salah satu yang lebih akrab dengan dunia seperti ini. Sementara Fasthea tidak begitu banyak bicara karena sedari tadi melihat burung-burung aneh itu Fasthea sudah merasakan sesuatu yang ganjil. Di sebelah kirinya terdengar dan terasa kehadiran makhluk lain yang terus menangis dan sepertinya merintih minta tolong. Namun ditepisnya perasaan takut demi menjaga keberanian sahabat lainnya. Sosok itu terus mengikuti Fasthea sampai akhirnya menghilang ditelan kesunyian.

Jam ditangan menunjukkan waktu 17.00 atau jam lima sore. Setelah kami yakin bahwa ada yang tidak benar dengan jalur ini akhirnya kami duduk beradu argumen. Sore yang temaram disertai ketakutan, ah begitu pengalaman yang tak terlupakan. Kami memutuskan untuk meneruskan lagi jalan itu sambil mencari petunjuk, nampak beberapa pohon perdu memiliki luka sayat dan tebasan oleh senjata tajam, bukankah ini petunjuk bahwa ada orang sebelumnya yang melewatinya. Setelah kita berdoa mohon perlindungan kepada yang membuat gunung Sindoro ini akhirnya kami menemukan muara jalan itu, yaitu sebuah tebing nan curam dan dalam. Artinya tak mungkin kita melewatinya, ini bukan jalan yang seharusnya ditempuh oleh pendaki.

Keringatpun bercucuran, kembali ke atas untuk menemukan pertigaan sebelumnya dengan resiko perjalanan akan mejadi lebih lama adalah pilihan terbaik daripada terus-terusan panik tak bersolusi. Kamipun mempercepat langkah dengan kaki yang sudah tertatih untuk kembali menuju pertigaan tadi, sambil teriring doa pastilah Tuhan menunjukkan jalan yang benar. Tak terasa perjalanan kami tersesat sudah lumayan panjang, Alhamdulillah pertigaan itu dapat kami temukan kembali. Hati sedikit lega karena pastilah jalan yang terus lurus adalah jalan yang benar. Kami pun duduk untuk istirahat, dan pas waktu itu adzan maghrib berkumandang dari berbagai penjuru, saatnya untuk bersyukur bahwa kita akan kembali pulang.

Kaki masih harus terus melangkah

Setelah istirahat yang cukup dan doa dipanjatkan, maka perjalanan dilanjutkan. Sindoro sudah mulai bercengkerama dengan malam, nampak sang purnama mulai menghiasi langit dengan sinarnya yang menelusup di balik rimbunnya pepohonan. Kaki yang sudah letih disertai pengalaman tadi menjadikan perjalanan turun semakin khusyuk. Entah berapa kali kami harus istirahat memulihkan tenaga. Suasana semakin larut ketika persediaan minum habis. Untung beberapa sachet madu dan minuman pengusir angin masih ada, lumayan untuk mengganti dahaga.

Sesampai di Pos II badan kami sudah kelelahan. Masih ada dua rute lagi yaitu Pos I dan base camp yang harus ditempuh, bayangan medan dan jauhnya jarak itu rasanya menyudutkan kami di tepian sinar purnama yang temaram. Untung sinyal Hand phone dan baterai tak beranjak pergi. SMS pun dikirimkan ke teman-teman pendaki di base camp yang tadi sudah pulang duluan untuk minta tolong dijemput di dekat Pos I. SMS berbalas, ada harapan baru untuk langkah berikutnya.

Sekitar setengah jam berikutnya pemandangan Pos I sudah nampak, dan nampak pula lampu senter yang menyorot ke arah kami. Raungan motor juga sayup-sayup terdengar, pertanda teman-teman yang berbaik hati itu telah datang menunggu kami di sana. Pukul 22.00 kami tiba di pos I, dari Pos I menuju motor penjemputan tidak begitu jauh, hanya sekitar lima menit saja. Empat motor sudah menunggu kami dengan senyum sambutan para pengendaranya, bahwa kami bisa pulang. Pos I menuju base camp kami tampuh dengan membonceng di sedel teman-teman yang baik itu. Terimakasih mas-mas yang sudah berbaik hati, semoga Allah Swt melimpahkan balasan yang setimpal.

Sampai di base camp ternyata kami sudah ditunggu oleh beberapa saudara dan masyarakat yang mengkhawatirkan keadaan kami. Bagaimana tidak, bagi orang kampung setempat waktu pendakian yang kami tempuh sudah memasuki fase “jangan-jangan tersesat”. Para teman-teman kampung ini berangkat jam setengah satu malam dan jam empat sorenya sudah sampai rumah kembali, sedangkan kami berangkat jam enam sore sebelumnya dan sampai malam berikutnya belum nampak batang hidungnya. Inilah nikmatnya persaudaraan, meski mungkin bagi kami waktu tempuh perjalanan ini juga belum begitu lama sebenarnya, namun kasih sayang persaudaraan mereka lebih depan dalam kehidupan. Segelas teh panas dan sepiring nasi panas beserta telur dadar dan sayur kacang sudah disediakan pula. Kamipun segera mengisi perut yang sudah keroncongan. Nyam-nyam nikmatnya. Setelah makan, berbincang, dan mengucapkan terimakasih kami pun berpamitan untuk kembali menuju rumah Erwin dan istirahat disana, baru esoknya lagi kami bertiga akan meneruskan perjalanan pulang.

Sungguh pengalaman pendakian yang tak terlupakan, medannya yang terjal dan tak ada medan bonus semeterpun, pengalaman mistisnya, persaudaraannya, anginnya, mataharinya, rembulannya, pepohonannya, bunga edelwisnya, batu-batu cadasnya, aroma belerangnya, dan segala keajaiban Tuhan dalam penciptaan gunung Sindoro ini membuat kami semakin mengerti betapa kecilnya manusia dan betapa tak pantasnya manusia menyombongkan diri di hadapan-Nya.

Sindoro, ketangguhanmu menyisakan nyaliku untuk kembali menjumpaimu di lain waktu.

We are Lamperan The Explorer;

Ki Juru Pandu Sholeh Fasthea, Erwin Hardiyanto Putro Sindoro, Simbah Empu Iip Syaifullah, Oyil Khoiril Mawahib el Kendaly.

Sholeh Fasthea

Anak kesayangan Tuhan, penikmat tidur siang. Menyukai jalan-jalan untuk memburu sepi. Nampak untuk tak terlihat, berjuang untuk tak dikenang.

0 komentar:

Bagaimana dengan pengalaman perjalananmu?